Pura Penataran Baturning
<p style="text-align: justify;">    Salah satu aspek khas dalam pelaksanaan pujawali (upacara besar) di Pura Penataran Baturning adalah keberlanjutan tradisi tabuh rah atau sabung ayam yang berlangsung selama dua belas hari berturut-turut. Tradisi ini bukan sekadar hiburan ritual, melainkan bagian integral dari sistem persembahan dan pengorbanan dalam konteks kepercayaan lokal. Menurut penuturan para penglingsir (tetua adat), pernah terjadi masa ketika tabuh rah tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tak lama setelah itu, masyarakat mengalami musibah berupa wabah penyakit dan kematian yang meluas, dikenal secara lokal sebagai bah bedeg. Peristiwa tersebut memperkuat keyakinan kolektif bahwa tabuh rah memiliki fungsi spiritual sebagai penyeimbang dan penolak bala, sehingga hingga kini tetap dilaksanakan secara konsisten setiap kali pujawali digelar.</p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Penataran Baturning 1.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">    Dalam pelaksanaannya, Desa Adat Baturning menetapkan aturan partisipatif yang bersifat komunal. Setiap keluarga diharapkan menyumbangkan dua ekor ayam sebagai bentuk kontribusi ritual. Bagi warga yang tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, tersedia opsi untuk menggantinya dengan punia atau sumbangan dalam bentuk lain, sesuai kemampuan masing-masing. Mekanisme ini mencerminkan fleksibilitas sistem adat dalam menjaga keberlanjutan tradisi, sekaligus memastikan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat dalam upacara keagamaan.</p> <p style="text-align: justify;">   Tradisi tabuh rah di Baturning bukan hanya berfungsi sebagai bagian dari ritual sakral, tetapi juga sebagai medium untuk memperkuat solidaritas sosial, mempertegas identitas komunal, dan menjaga kesinambungan nilai-nilai spiritual yang diwariskan secara turuntemurun. Dalam konteks budaya Bali, praktik semacam ini menunjukkan cara elemen adat dan kepercayaan lokal, untuk terus beradaptasi dengan dinamika sosial tanpa kehilangan makna esensialnya.</p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Penataran Baturning 3.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">    Pujawali di Pura Penataran Baturning merupakan salah satu tradisi keagamaan penting bagi masyarakat setempat dalam menjaga harmoni spiritual dan keselamatan lingkungan. Ritual ini bukan hanya pelestarian warisan leluhur, tetapi juga menjadi ruang sosialisasi nilai-nilai komunitas serta aktualisasi kepercayaan yang telah diwariskan lintas generasi.</p> <p style="text-align: justify;">    Pura Penataran Baturning merupakan tempat pemujaan utama bagi Ida Bhatara Dewi Danuh Batur. Berdasarkan penuturan tokoh adat dan pemangku setempat, asal-usul pura ini terkait erat dengan legenda ditemukannya Batu Angsut, yaitu tumpukan batu yang tersangkut akibat banjir bandang dari Sungai Ayung. Diceritakan bahwa pendirian pura ini bermula ketika seorang tokoh suci mendapat perintah dari Raja Mengwi untuk membangun sebuah Parahyangan. Namun, tokoh suci tersebut menolak membangun pura di lokasi sembarangan dan menyatakan bahwa Parahyangan hanya akan dibangun di tempat ditemukannya Batu Angsut. Ketika akhirnya tumpukan batu tersebut ditemukan, dibangunlah pura di lokasi tersebut, dan tokoh suci tersebut kemudian dikenal sebagai Ida Betara Batu Angsut. Saat ini, Parahyangan yang didirikan dari tumpukan Batu Angsut itu menjadi Pura Penataran Baturning, yang memiliki makna simbolik sebagai pusat spiritual dan tempat pelaksanaan ritual masyarakat.</p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Penataran Baturning 2.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">   Pura Penataran Baturning berfungsi sebagai bagian integral dari sistem pura di kawasan tersebut, bersatu dengan Pura Jati (tempat pemujaan Ida Bhatara Dang Hyang Nirartha), Pura Melanting, dan Pura Dadia Kawitan Bendesa Abaan yang menjadi pengempon utama. Di area pura ini terdapat sejumlah pelinggih yang memiliki fungsi dan makna tersendiri, antara lain: 1) Pura Jati, sebagai tempat pemujaan Ida Bhatara Dang Hyang Nirartha; 2) Padma Tiga Pesimpangan Gunung Agung/Besakih, dengan ciri khas lingga Batu Angsut yang menjadi objek sakral dan tidak boleh dilangkahi atau diinjak oleh siapa pun. Fenomena ini menunjukkan kesadaran kolektif akan tuah dan tulah, seperti halnya dalam kepercayaan animisme-dinamisme serupa di Nusantara; 3) Gedong Dukuh Sakti; 4) Gedong Batu Ngaus; 5) Gedong Beraban; 6) Gedong Gunung Agung; 7) Batur Kawan; 8) Batur Sari; 9) Gedong Pura Desa; 10) Gedong Pura Puseh; 11) Gedong Rambut Siwi; 12) Pelinggih Balang Tamak yang terletak di pintu masuk pura; 13) Bale Agung; 14) Tempat Pepelik Sari di tengah halaman pura, berbentuk menyerupai penjor, digunakan untuk pemujaan ke Gunung Agung dengan lampu pepelik sebagai simbol persembahan.</p> <p style="text-align: justify;">   Lampu pepelik sendiri dirangkai dari bahan-bahan khusus, seperti bungkak nyuh gading (kelapa gading), beras kusuh, minyak kelapa, dan sumbu dari kapas. Lampu ini digantung di puncak penjor dan diletakkan di tengah-tengah natar utamaning Pura Penataran, menjadi bagian penting dari simbolisme ritual.</p> <p style="text-align: justify;">   Rangkaian pujawali di pura ini dilaksanakan selama 12 hari berturut-turut (nyejer), dimulai pada hari Pangelong wuku sasih kapat, tepat pada rahina Pasah. Uniknya, pelaksanaan pujawali tidak melibatkan sulinggih (pendeta), melainkan dipimpin oleh pemangku dan dasaran Siwa Raga yang dipercaya sebagai perwujudan spiritual dari Ida Betara Dang Hyang Nirartha di Gedong Pura Jati. Fenomena ini serupa dengan prosesi ritual saat odalan di Pura Anyar Desa Adat Umahanyar.</p> <p style="text-align: justify;">   Secara keseluruhan, ritual dan struktur Pura Penataran Baturning mencerminkan sistem keagamaan tradisional Bali yang sarat dengan makna simbolik, keteraturan sosial, dan kesinambungan adat, sekaligus memperlihatkan adaptasi masyarakat terhadap perubahan lingkungan dan dinamika zaman. Sejalan dengan fenomena keberadaan Batu Angsut di kawasan Pura Penataran Baturning, pemujaan terhadap batu besar dan pohon tua di Nusantara merefleksikan warisan animisme-dinamisme yang berakar kuat dalam tradisi lokal dan diwariskan secara turun-temurun. Praktik ini menegaskan keyakinan bahwa benda-benda alami bukan sekadar material pasif, melainkan entitas sakral yang dipandang memiliki kekuatan spiritual dan pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Menurut perspektif teoritis Durkheim dan Levi-Strauss, objekobjek tersebut menjadi pusat kolektivitas dan simbol pemersatu identitas komunal, sekaligus menjadi penghubung antara alam, leluhur, dan manusia. Emile Durkheim berpendapat bahwa bendabenda sakral seperti batu besar atau pohon tua berfungsi sebagai totem, lambang solidaritas sosial, dan alat pemersatu masyarakat yang memperkuat nilai bersama lewat ritual kolektif. Sementara itu, Claude Lévi-Strauss menekankan bahwa simbol-simbol dalam budaya, termasuk benda sakral, merupakan bagian dari struktur berpikir masyarakat yang membangun makna dan relasi sosial. Melalui pendekatannya, Levi-Strauss melihat bahwa pola-pola pemujaan dan mitos di sekitar objek sakral mencerminkan cara manusia menata dan memahami dunia secara simbolik dan sistematis. Dalam kondisi sosial yang terus berubah, pemujaan terhadap batu dan pohon besar tetap mempertahankan relevansi sebagai sistem pengendali moral, yang membatasi perilaku individu melalui legitimasi tradisi dan mitos lokal. Pola kepercayaan ini memperlihatkan sistem spiritualitas lokal mampu beradaptasi dan memperkuat solidaritas komunitas melalui pemaknaan objek-objek sakral.</p> <p style="text-align: justify;">    Selain itu, kepercayaan akan tuah dan tulah berperan sebagai mekanisme sosial yang mendorong konservasi nilai-nilai adat dan menjaga keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Tuah, dipandang sebagai berkah atau kekuatan positif yang akan datang jika objek sakral dipuja dengan benar, sementara tulah dianggap sebagai kutukan atau bencana yang menimpa apabila terjadi pelanggaran atau penghinaan terhadap benda tersebut. Fenomena ini dapat dianalisis sebagai bentuk internalisasi norma dan regulasi sosial yang bekerja melalui rasa takut dan harapan, bukan sekadar melalui sanksi formal. Dalam kerangka antropologi sosial, penataan ruang dan ritual di sekitar batu atau pohon besar sering kali menjadi instrumen pemeliharaan ekosistem lokal sekaligus pembentukan identitas dan solidaritas kelompok. Refleksi kritis terhadap pola ini menunjukkan bahwa pemujaan sakral bukan hanya ritual warisan, melainkan juga strategi adaptif yang memungkinkan masyarakat Desa Adat Baturning bertahan di tengah tekanan perubahan zaman dan arus homogenisasi budaya global.</p>
15 Oct 2025