Pura Melanting, Pura Demung, Dan Kisah Patung Bernyanyi
<p style="text-align: justify;"> <img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Demung dan Melanting.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">  Selain keberadaan pura yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula Pura Melanting dan Pura Demung yang terletak berdampingan di kawasan Banjar Adat Mambal Kajanan. Pura Melanting, yang berdiri di utara Pasar Mambal, dikenal sebagai tempat sakral bagi warga yang menggantungkan hidup di bidang perdagangan dan pertanian. Kerap disebut sebagai “Pura Swagina”, pura ini menjadi pusat doa bagi mereka yang memohon kelancaran usaha dan kemakmuran, serta memperlihatkan keterkaitan erat antara spiritualitas dengan aktivitas ekonomi harian masyarakat desa. Sementara itu, tepat di selatan Pura Melanting, berdiri Pura Demung yang menjadi tujuan utama saat pelaksanaan upacara otonan wewalungan, yaitu ritual kelahiran bagi hewan ternak. Puncak kegiatan di pura ini berlangsung pada hari Tumpek Kandang, di mana masyarakat memuliakan hewan peliharaan sebagai bagian penting dari kehidupan agraris. Prosesi persembahyangan di Pura Demung memperlihatkan kuatnya nilai harmonisasi antara manusia dan alam, mengukuhkan keberadaan pura sebagai jembatan antara dunia sekala (nyata) dan niskala (spiritual). Pengelolaan kedua pura ini, bersama pura-pura lain di Mambal, diatur secara terstruktur oleh dua banjar adat utama yakni Banjar Adat Mambal Kelodan dan Banjar Adat Mambal Kajanan. Banjar Adat Mambal Kajanan, yang mayoritas warganya merupakan pendatang dari luar wilayah, bertanggung jawab menjaga serta ngempon Pura Melanting dan Pura Demung. Walaupun keberadaan tanah di wilayah Kajanan memiliki status khusus sebagai tanah kerajaan untuk kesejahteraan warga (swagina) sehingga pembangunan pura baru sangat terbatas, warga tetap aktif merawat dan melanjutkan tradisi spiritual di pura yang telah ada. Tanah kerajaan dalam hal ini merupakan lahan yang sejak dahulu dimiliki dan dikuasai oleh Kerajaan Mengwi, sehingga penggunaannya harus mengikuti izin dan kebijakan kerajaan. Karena status tersebut, masyarakat di Mambal Kajanan tidak dapat dengan leluasa membangun pura baru atau menambah pura tanpa persetujuan dari pihak kerajaan. Meski demikian, harmoni antara Banjar Adat Mambal Kajanan dan Kelodan tampak nyata dalam setiap prosesi adat, di mana seluruh warga berbaur dalam persiapan dan pelaksanaan ritual keagamaan, memperkuat keterikatan sosial dan spiritual tanpa memandang perbedaan sejarah maupun asal-usul.</p> <p style="text-align: justify;">   Di tengah dinamika kehidupan adat di Desa Mambal, terdapat pula kisah menarik mengenai sebuah patung raksasa gundul yang dikenal dengan nama Ratu Gede. Berdasarkan cerita yang diwariskan secara turun-temurun, patung ini pernah diyakini memiliki kekuatan spiritual besar dan mampu berbicara kepada masyarakat, namun ia enggan melinggih atau berstana di Pura Puseh dan memilih bermukim di Bale Banjar. Keputusan tersebut diyakini didasarkan pada kehendak niskala Ratu Gede, sehingga kini patung ini tetap dipuja sebagai bagian dari sistem penghayatan lokal, menambah kekayaan narasi spiritual desa. Kisah Ratu Gede memperlihatkan bahwa relasi masyarakat dengan dunia gaib sangat dipengaruhi pengalaman batin dan komunikasi spiritual yang tidak selalu linier atau terikat aturan formal.</p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Demung dan Melanting 3.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">   Lebih lanjut keberadaan Pura Demung dan Pura Melanting di Desa Adat Mambal memperlihatkan cara spiritualitas Bali mengartikulasikan relasi antara profesi, ekologi, dan etika dalam bentuk ritus yang kontekstual dan penuh resonansi. Kedua pura ini, meskipun tidak selalu dikategorikan secara formal sebagai pura swagina, memuat karakteristik serupa, yaitu dibangun dari kebutuhan komunitas, berfungsi sebagai ruang pemujaan sekaligus pengelolaan nilai-nilai hidup yang berakar pada profesi dan lingkungan. Pura Melanting menjadi pusat spiritual bagi para pedagang dan pelaku usaha, tempat mereka memohon kelancaran rezeki dan etika dalam berdagang, memperlihatkan bahwa ekonomi di Bali tidak pernah sepenuhnya profan. Sementara itu, Pura Demung berfungsi sebagai ruang perlindungan dan penyembuhan, terutama bagi ternak dan kehidupan agraris, yang ritusnya berpuncak pada Tumpek Kandang sebagai bentuk penghormatan terhadap hewan sebagai mitra hidup. Dalam konteks ini, kedua pura tersebut menjadi cermin dari spiritualitas Bali yang menolak pemisahan antara kerja dan doa, antara produksi dan pemujaan, antara ekonomi dan ekologi. Mereka memperlihatkan bahwa sakralitas bukanlah entitas tetap, melainkan medan negosiasi yang terus bergerak mengikuti dinamika komunitas.</p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Demung dan Melanting 1.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">   Ritus Tumpek Kandang yang dilaksanakan di Pura Demung memperkuat identitasnya sebagai pura yang berhubungan langsung dengan dunia peternakan, di mana hewan tidak hanya dipelihara secara fisik, tetapi juga secara spiritual. Dalam ritus tersebut, masyarakat membawa persembahan, memohon keselamatan dan kesehatan ternak, serta mensucikan kandang dengan tirta, memperlihatkan bahwa relasi manusia-hewan di Bali bukan sekadar ekonomi, tetapi juga kosmis dan etis. Ketika otonan wewalungan yaitu ritual kelahiran ternak dilakukan, maka kelahiran hewan tidak dipandang sebagai peristiwa biologis semata, tetapi sebagai momen sakral yang layak dirayakan dan diberkahi. Praktik ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali mengakui keberadaan hewan sebagai bagian dari jaringan kehidupan yang memiliki hak spiritual untuk dirawat dan dihormati. Dalam hal ini, Pura Demung menjadi situs epistemologis yang mengajarkan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal teknologi atau kebijakan, tetapi juga soal kesadaran spiritual yang dijalankan melalui ritus dan relasi sehari-hari. Spiritualitas Bali, melalui Pura Demung, memperlihatkan bahwa etika ekologis bisa dijalankan melalui praktik afektif yang sederhana namun penuh makna.</p> <p style="text-align: justify;">   Sebaliknya, Pura Melanting di Mambal memperlihatkan proses spiritualitas Bali mengelola ranah ekonomi dan perdagangan sebagai bagian dari sistem nilai yang dijalankan secara kolektif dan ritmis. Pura ini menjadi tempat para pedagang dan pelaku usaha memohon restu, kelancaran, dan kejujuran dalam menjalankan profesi mereka, memperlihatkan bahwa ekonomi tidak pernah dipisahkan dari etika dan spiritualitas. Dalam ritus-ritus seperti ngaturang banten dan nunas tirta, masyarakat diajak untuk menginternalisasi nilai-nilai keseimbangan, tanggung jawab, dan solidaritas dalam praktik ekonomi sehari-hari. Pura Melanting menjadi laboratorium etika dagang, tempat di mana spiritualitas dan kehidupan praktis saling mengisi dan memperkaya. Ketika perdagangan tidak hanya dipandang sebagai aktivitas transaksional, tetapi juga sebagai bentuk pelayanan dan pengabdian, maka spiritualitas Bali memperlihatkan kapasitasnya untuk mengintervensi ranah ekonomi secara kritis dan reflektif. Dalam hal ini, Pura Melanting bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga tempat membangun etos kerja yang berakar pada nilai-nilai spiritual.</p> <p style="text-align: justify;"><img height="100px" src="https://desamambal.badungkab.go.id/storage/desamambal/image/Pura Demung dan Melanting 2.jpg" weigth="100px" /></p> <p style="text-align: justify;">   Studi komparatif antara Pura Demung dan Pura Melanting di Mambal memperlihatkan bahwa spiritualitas Bali bersifat modular dan adaptif, mampu menyerap dan mengartikulasikan berbagai bentuk profesi dan kebutuhan komunitas dalam struktur ritus dan arsitektur yang khas. Kedua pura ini tidak bisa dipahami secara terpisah, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari ekologi spiritual yang lebih luas, dimana setiap pura memainkan peran dalam menjaga keseimbangan antara produksi, perlindungan, dan distribusi nilai. Pura Demung memperkuat aspek Palemahan dalam Tri Hita Karana, dengan fokus pada relasi manusia-hewan dan pengelolaan lingkungan hidup, sementara Pura Melanting memperkuat aspek Pawongan, dengan fokus pada relasi sosial dan etika profesi. Dalam konteks ini, spiritualitas Bali tidak bersifat abstrak, tetapi operasional dan kontekstual, dijalankan melalui ritus yang konkret dan penuh resonansi. Ketika kedua pura ini dijaga dan dirawat oleh komunitas, maka yang dijaga bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga sistem nilai, memori kolektif, dan jaringan sosial yang menopang kehidupan mereka.</p> <p style="text-align: justify;">    Transformasi fungsi dan makna pura-pura ini memperlihatkan bahwa spiritualitas Bali bukanlah sistem yang tertutup, tetapi medan yang terus bergerak, dinegosiasikan, dan dihidupi oleh komunitas dalam berbagai bentuk. Ketika profesi berubah, ketika desa berkembang, ketika tantangan baru muncul, pura-pura ini tidak mati, tetapi bertransformasi, mencari bentuk baru untuk tetap relevan dan bermakna. Pura Demung yang kini menjadi tempat pusat ritus Tumpek Kandang, memperlihatkan bahwa spiritualitas bisa menjangkau ranah kesehatan hewan dan ekologi lokal. Pura Melanting yang menjadi tempat restu bagi pelaku usaha memperlihatkan bahwa spiritualitas bisa menjangkau ranah ekonomi dan etika dagang. Dalam hal ini, pura bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga milik masa depan, tempat di mana generasi baru bisa belajar tentang nilai, tentang relasi, dan tentang tanggung jawab. Spiritualitas Bali, melalui kedua pura ini, memperlihatkan kapasitasnya untuk menjadi sistem hidup yang dijalankan melalui ruang, ritus, dan relasi.</p> <p style="text-align: justify;">   Akhirnya, narasi tentang Pura Demung dan Pura Melanting di Mambal mengajak kita untuk melihat bahwa spiritualitas tidak harus monumental, tetapi bisa hadir dalam air yang dipercikkan ke kandang, dalam doa sebelum berdagang, dalam sesajen di pasar, atau dalam nazar yang dipenuhi setelah ternak sembuh. Ini adalah spiritualitas yang hidup, yang berpijak pada tanah, yang menyapa hewan, dan yang merawat manusia, spiritualitas yang tidak hanya menghubungkan dengan Tuhan, tetapi juga dengan kehidupan itu sendiri. Ketika purapura ini dijalankan sebagai ruang pendidikan spiritual, maka mereka menjadi sekolah nilai, laboratorium etika, dan panggung solidaritas yang memperkaya kehidupan komunitas. Dalam konteks ini, studi komparatif antara Pura Demung dan Pura Melanting bukan hanya soal membandingkan fungsi, tetapi soal memahami proses spiritualitas Bali mengelola kompleksitas hidup melalui ritus yang reflektif, kontemplatif, dan kritis. Pura-pura ini memperlihatkan bahwa sakralitas bukanlah sesuatu yang dipisahkan dari kehidupan, tetapi justru menjadi cara hidup itu sendiri, cara yang mengajarkan kita untuk merawat, menghormati, dan menghidupi dunia dengan penuh kesadaran dan kasih.</p>
27 Oct 2025