Pura Anyar Desa Umahanyar
<p style="text-align: justify;">   Prosesi piodalan di Pura Anyar menunjukkan pola pelaksanaan yang khas, di mana rangkaian upacara secara simbolik dimulai dan diakhiri oleh figur yang dipercaya sebagai Ida Bhatara berstana di pura tersebut. Sosok ini secara lokal diidentifikasi sebagai manifestasi dari Danghyang Dwijendra atau Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang diyakini hadir melalui praktik mediumisasi. Dalam pelaksanaan ritual, peran para sulinggih dan pemangku tidak bersifat sentral, melainkan sebagai pendamping yang mendukung kelancaran prosesi baik dalam dimensi sekala (lahiriah) maupun niskala (spiritual).</p> <p style="text-align: justify;">   Model pelaksanaan ini mencerminkan struktur otoritas ritual yang menempatkan figur transenden sebagai pusat kendali simbolik, sementara manusia berfungsi sebagai fasilitator atau pelaksana teknis. Tradisi tersebut merepresentasikan bentuk relasi spiritual yang khas dalam konteks keagamaan Bali, dimana otoritas tertinggi dalam ritual tidak sepenuhnya berada pada pemuka agama, melainkan pada entitas yang dianggap suci dan berstana di tempat ibadah. Secara filosofis, praktik ini mengandung pemahaman bahwa manusia dalam konteks ritual keagamaan berperan sebagai pemedek atau pelayan spiritual, yang bertugas menjaga keterhubungan antara dimensi manusiawi dan transenden.</p> <p style="text-align: justify;">   Prosesi unik ini memperlihatkan pemahaman kosmologis masyarakat Umahanyar, dimana keseimbangan antara skala (dunia nyata) dan niskala (dunia tak kasatmata) menjadi prinsip utama dalam pelaksanaan ritual. Ketika Ida Bhatara memimpin langsung, umat diingatkan untuk selalu merendah di hadapan kekuatan spiritual yang lebih tinggi, serta menjaga kesucian batin dan sikap tunduk pada kehendak Hyang Widhi. Inilah bentuk nyata yadnya dalam tradisi Bali, bahwa setiap persembahan merupakan bentuk pengabdian tulus kepada Sang Pencipta, dan manusia hanyalah perantara dalam harmoni semesta.</p> <p style="text-align: justify;">   Pada tahun 2025, Pura Anyar melaksanakan sebuah upacara agung yang sarat makna spiritual dan budaya, yaitu Karya Pedudusan, yang dirangkaikan dengan beberapa tahapan sakral lainnya seperti Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan Wraspati Kalpa Madya, Meyama Raja, dan dilaksanakan tepat pada Rahina Saniscara Pon Ugu.</p> <p style="text-align: justify;">   Upacara ini bukanlah kegiatan rutin, melainkan sebuah peristiwa langka yang mengandung nilai historis tinggi. Menurut Bendesa Adat Umahanyar, Karya Pedudusan ini terakhir kali digelar pada tahun 1843, menjadikannya sebagai tradisi yang telah “tertidur” selama lebih dari satu setengah abad. Baru pada tahun 2025, masyarakat dan pemangku adat di Pura Anyar kembali melaksanakannya sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai spiritual.</p> <p style="text-align: justify;">   Pelaksanaan Karya Pedudusan yang digelar di Pura Anyar pada tahun 2025 tidak hanya menjadi momentum sakral dalam pelestarian tradisi, tetapi juga memperlihatkan sinergi spiritual yang mendalam melalui kehadiran dua tokoh utama pemimpin upacara (muput). Upacara ini dipimpin oleh dua pandita dari dua aliran utama dalam tradisi Hindu Bali, yaitu Pandita Siwa dan Pandita Budha.</p> <p style="text-align: justify;">   Pandita Budha berasal dari Griya Budha Kaliwungu, sementara Pandita Siwa adalah Ratu Pedanda dari Griya Tunjuk, Tabanan. Kehadiran kedua pandita ini mencerminkan keseimbangan antara dua kekuatan spiritual yang saling melengkapi dalam ajaran Tattwa Hindu Bali. Dengan hanya dua pandita yang muput, upacara ini menekankan kesakralan dan kekhususan ritual.</p> <p style="text-align: justify;">   Selain Karya Pedudusan yang bersifat monumental dan jarang dilaksanakan, Pura Anyar juga menjadi pusat kegiatan spiritual yang berlangsung secara berkala. Upacara-upacara ini terbagi ke dalam tiga siklus utama, yaitu lima tahunan, tahunan, dan enam bulanan, masing-masing memiliki tujuan dan struktur ritual yang berbeda.</p> <p style="text-align: justify;">   Setiap lima tahun sekali, Pura Anyar menyelenggarakan upacara besar yang biasanya bertepatan dengan prosesi pawintenan mangku yaitu ritual sakral untuk menetapkan pemangku sebagai pemimpin spiritual. Dalam rangkaian ini juga dilaksanakan upacara nyatur, yang bertujuan untuk menyelaraskan energi niskala dan sekala. Upacara ini biasanya melibatkan prosesi Melasti ke segara (laut), sebagai simbol penyucian diri dan alam. Jumlah pebangkit yang digunakan dalam upacara ini bisa bervariasi antara empat hingga lima, tergantung pada skala dan kebutuhan ritual.</p> <p style="text-align: justify;">   Sementara untuk setahun sekali, Pura Anyar menggelar upacara rutin yang bersifat pemeliharaan spiritual dan penyegaran energi pura. Upacara ini menggunakan tiga pebangkit, dan meskipun skalanya lebih kecil dibandingkan upacara lima tahunan, tetap dijalankan dengan penuh khidmat dan ketelitian. Tujuannya adalah menjaga kesinambungan hubungan antara umat dengan kekuatan niskala yang berstana di pura.</p> <p style="text-align: justify;">  Sedangkan untuk setiap enam bulan, Pura Anyar melaksanakan upacara berkala yang menggunakan empat Pulagembal yaitu sebuah simbol penting dalam ritual Bali yang merepresentasikan kekuatan alam dan spiritual. Upacara ini bersifat pemeliharaan dan penyelarasan, menjaga kesucian pura serta memperkuat ikatan antara masyarakat dan warisan leluhur.</p> <p style="text-align: justify;">   Dalam pelaksanaan Karya Padudusan Pura Anyar menghadirkan susuhunan atau manifestasi kekuatan niskala yang dihormati oleh masyarakatnya. Sesuhunan yang dimiliki yaitu Barong Ket, Ratu Ayu, Ratu Rarung, Ratu Gede, Ratu Ayu untuk Tarian (Topeng Telek). Setiap susuhunan memiliki fungsi dan simbolisme tersendiri, mencerminkan aspek-aspek kehidupan dan spiritualitas dalam tradisi Bali.</p> <p style="text-align: justify;">   Barong Ket yaitu sebagai simbol pelindung dan penjaga keseimbangan antara kekuatan baik dan buruk, Barong Ket menjadi salah satu sesuhunan utama di Pura Anyar. Ia sering dihadirkan dalam ritual untuk menetralisir energi negatif dan menjaga keharmonisan alam semesta.</p> <p style="text-align: justify;">   Ratu Ayu untuk Pura Desa, sesuhunan ini berstana di Pura Desa dan melambangkan kekuatan feminin yang menjaga kesejahteraan dan keharmonisan kehidupan sosial masyarakat. Ia menjadi pelindung desa dan simbol kemakmuran serta kesuburan.</p> <p style="text-align: justify;">   Ratu Rarung untuk Pura Dalem, Ratu Rarung bersemayam sebagai representasi dari kekuatan yang berhubungan dengan kematian dan transformasi. Ia dihormati dalam konteks spiritual yang mendalam, sebagai penjaga alam niskala dan penguasa energi gelap yang harus diseimbangkan.</p> <p style="text-align: justify;">   Ratu Gede berupa Barong, merupakan manifestasi lain dari kekuatan pelindung, Ratu Gede hadir dalam wujud Barong yang lebih besar dan megah. Ia sering dihadirkan dalam upacara besar sebagai simbol kekuatan agung yang menjaga wilayah pura dan masyarakat dari gangguan niskala.</p> <p style="text-align: justify;">   Ratu Ayu untuk Tarian (Topeng Telek), sesuhunan ini berwujud seperti Topeng Telek, dan berfungsi sebagai sumber taksu atau karisma dalam seni pertunjukan, khususnya tari. Ia diyakini memberikan kekuatan spiritual kepada penari agar mampu menampilkan tarian dengan penuh daya magis dan pengaruh batin yang mendalam.</p> <p style="text-align: justify;">   Sesuhunan Ratu Gede yang berstana di Pura Anyar memiliki keterkaitan spiritual yang erat dengan wilayah adat di luar pura, khususnya dengan Desa Adat Kelaci Kaja, Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Hubungan ini bukan sekadar simbolik, melainkan mencerminkan ikatan niskala yang telah terjalin secara turun-temurun antara susuhunan dan komunitas adat tersebut. Dalam rangkaian Karya Pedudusan tahun 2025, Ida Sesuhunan Ratu Gede melaksanakan prosesi nodya yaitu perjalanan suci dari tempat berstana di wilayah Kelaci menuju Pura Anyar yang dimulai pada tanggal 5 Agustus dan berlangsung hingga tanggal 12 Agustus. Selama periode tersebut, Ida Ratu Gede hadir secara niskala untuk menyaksikan dan menyertai seluruh tahapan upacara, termasuk piodalan dan berbagai ritual utama yang dilaksanakan di Pura Anyar. Menurut penuturan narasumber Ida Bagus Sutakertya, dalam siklus ritual yang diadakan di Pura Anyar, prosesi Barong Ngelawang dari wilayah Kelaci kerap dilaksanakan pada waktu adanya odalan nadi. Dengan demikian, dalam lintasan waktu dan ritus, perjalanan Ida Ratu Gede bukan hanya menghubungkan dua titik geografis, melainkan menghidupkan kembali jejak niskala yang menyatukan ruang, leluhur, dan kesadaran kolektif. Di antara langkah-langkah suci dan denting gamelan, tersirat pesan bahwa kesetiaan spiritual bukanlah warisan yang pasif, melainkan gerak yang terus diperbarui dalam tubuh komunitas.</p> <p style="text-align: justify;">   Kehadiran Ida Ratu Gede dalam bentuk nodya ini diyakini memperkuat energi spiritual karya, sekaligus mempertegas hubungan antara pura dan desa-desa adat yang menjadi bagian dari wilayah pengayoman sesuhunan. Prosesi ini juga menjadi momen penting bagi masyarakat adat Klaci Kaja dan Abiantuwung untuk mempersembahkan bhakti dan menjaga warisan leluhur.</p> <p style="text-align: justify;">   Rangkaian Karya Padudusan di Pura Anyar tahun 2025 merupakan prosesi sakral yang berlangsung secara bertahap dan penuh makna spiritual. Dimulai dengan Upacara Tawur pada tanggal 6 Agustus, ritual ini bertujuan untuk menetralisir unsur-unsur negatif dan menciptakan keharmonisan antara alam sekala dan niskala. Sebelum mencapai puncak karya pada tanggal 9 Agustus, berbagai persiapan telah dilakukan sejak satu bulan sebelumnya, diawali dengan Upacara Nunas Ica di tiga pura utama (Kahyangan Tiga), sebagai bentuk permohonan restu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.</p> <p style="text-align: justify;">   Pada tanggal 13 Juli, dilaksanakan Upacara Nanceb Sanggah Surya, yang menandai penancapan simbol pemujaan terhadap kekuatan matahari. Tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 16 Juli, dilakukan Melaspas Tetangunan untuk menyucikan bangunan dan sarana upacara. Selanjutnya, pada tanggal 20 Juli, digelar Upacara Nunas Tirta Pakuluh di sebelas tempat suci, termasuk Pura Kahyangan Tiga Desa Umahanyar, Pura Anyar Jasri, Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Tirta Selukat, Tirta Sudamala, Tirta Sidakarya, Pura Agung dan beberapa tempat suci lainnya yang memiliki kekuatan spiritual tinggi. Pemilihan lokasi-lokasi tersebut didasarkan pada petunjuk spiritual dari Yajamana Karya, sebagai pemimpin upacara. Adapun griya pemucuk yang memimpin keseluruhan rangkaian adalah Griya Lebah dari Abiansemal.</p> <p style="text-align: justify;">   Memasuki tanggal 21 Juli, dilaksanakan Ngingsah Nyangling, yaitu ritual penyucian beras sebagai bahan persembahan. Kemudian, pada tanggal 1 Agustus, dilakukan Nyujukang Sunari, prosesi pemanggilan kekuatan niskala untuk berstana dalam sarana upacara. Pada tanggal 7 Agustus, umat melaksanakan Melasti ke Batu Bolong, sebagai simbol pembersihan diri dan alam dengan air laut. Puncak karya berlangsung pada tanggal 9 Agustus, diikuti oleh Penganyaran pada tanggal 10 sebagai bentuk penyegaran spiritual.</p> <p style="text-align: justify;">   Rangkaian dilanjutkan pada tanggal 11 Agustus dengan Nyegara Gunung ke Sangeh di pagi hari, yang melambangkan perjalanan spiritual dari laut ke gunung, dan Nyenuk di sore harinya sebagai pemanggilan kembali susuhunan ke tempat berstana. Pada tanggal 12 Agustus, dilakukan Penganyaran lanjutan sekaligus Penyineban, sebagai penutup utama dari karya. Pada hari ini pula, Ratu Gede melaksanakan Napak Pertiwi Mesolah, sebuah prosesi sakral yang memperlihatkan manifestasi susuhunan di alam sekala. Sebagai penutup keseluruhan rangkaian, pada tanggal 20 September dilaksanakan Upacara Bulan Pitung Dina, yang berfungsi sebagai penyempurnaan dan penguatan kembali energi spiritual yang telah dihimpun selama karya berlangsung.</p> <p style="text-align: justify;">   Upacara di Pura Anyar memiliki kekhasan tersendiri yang membedakannya dari pola piodalan pada umumnya. Keunikan ini terletak pada sistem penetapan hari piodalan yang tidak mengikuti pakem kalender Bali seperti wuku, sasih, atau tanjekan. Sebaliknya, penentuan piodalan di Pura Anyar berpatokan pada siklus Buda Kliwon Matal, yang merujuk pada momentum spiritual tertentu di Pura Desa.</p> <p style="text-align: justify;">   Secara garis besar, piodalan di Pura Anyar dilaksanakan setelah dua kali purnama yang mengikuti Buda Kliwon Matal. Jika Buda Kliwon Matal terjadi sebelum purnama, maka urutannya adalah: Buda Kliwon Matal, kemudian purnama pertama, lalu purnama kedua, dan barulah piodalan dilaksanakan sehari setelah purnama kedua. Namun, jika Buda Kliwon Matal bertepatan dengan purnama, maka piodalan akan digelar sehari setelah purnama berikutnya, tradisi ini dikenal sebagai abulan pisan. Karena tidak terikat pada sistem wuku atau sasih, piodalan bisa jatuh pada hari apa pun: Minggu, Senin, Selasa, dan seterusnya.</p> <p style="text-align: justify;">   Tradisi ini memiliki keterkaitan erat dengan Pura Agung Badung di Kaba-Kaba, yang dianggap sebagai “kakak” dari Pura Anyar. Dalam siklus upacara, Pura Agung melaksanakan piodalan terlebih dahulu pada purnama pertama setelah Buda Kliwon Matal. Selanjutnya, pada purnama kedua, giliran Pura Anyar menggelar piodalan. Setelah itu, rangkaian upacara berlanjut ke Tapesan Klaci, dengan jeda waktu sekitar satu bulan antara masing-masing pura. Pola ini mencerminkan kesinambungan spiritual antar-pura yang saling terkait dalam satu sistem niskala.</p> <p style="text-align: justify;">   Menariknya, piodalan di Pura Desa Puseh Dalem Umahanyar juga berlangsung bersamaan dengan piodalan di Pura Desa Puseh Dalem milik Desa Adat Kelaci. Kesamaan waktu ini memperkuat ikatan antara komunitas adat dan struktur spiritual yang menaungi, sekaligus menunjukkan adanya harmoni dalam pelaksanaan tradisi keagamaan yang telah diwariskan secara turun-temurun.</p> <p style="text-align: justify;">   Setelah prosesi piodalan di Pura Anyar selesai, rangkaian acara dilanjutkan dengan pementasan tari-tarian sakral yang menjadi bagian integral dari persembahan kepada Ida Sesuhunan. Pertunjukan diawali dengan tari Pependetan, sebuah tarian penyambutan yang kini telah menjadi bagian umum dalam berbagai upacara keagamaan di Bali. Tarian ini mencerminkan rasa bhakti dan penghormatan kepada manifestasi Tuhan yang berstana di pura.</p> <p style="text-align: justify;">   Usai tari Pependetan, dipentaskan sebuah tarian khas yang disebut Tari Klincang-Klincung, atau dikenal juga sebagai tari bersukaria. Walaupun pakemnya merujuk pada tari Pendet, tari Klincang-Klincung memiliki ciri khas tersendiri. Tarian ini ditampilkan oleh lima orang perempuan yang berperan sebagai srati atau pemangku wanita, yang telah melalui proses penyucian diri dan dianggap eka jati (murni secara niskala). Mereka mengenakan busana pemangku lengkap dengan pengider atau kain berwarna lima elemen, yaitu hitam, putih, merah, kuning, dan brumbun (warna campuran), yang melambangkan arah mata angin dan kekuatan kosmik dalam ajaran Hindu Bali.</p> <p style="text-align: justify;">   Setelah itu, dilanjutkan dengan tarian yang lebih dinamis dan maskulin, dibawakan oleh para penari laki-laki. Tarian ini menggunakan properti simbolik berupa tombak, tebu, dan punyan dapdap yaitu tiga elemen yang merepresentasikan kekuatan, kesuburan, dan perlindungan. Awalnya, tiga penari tampil bersama, kemudian dua diantaranya duduk bersila, sementara satu penari tetap berdiri dan menari secara bergiliran. Gerakannya menggambarkan siklus energi dan keseimbangan antara kekuatan alam dan manusia.</p> <p style="text-align: justify;">   Akhir dari rangkaian upacara ini adalah prosesi Meblabaran, yaitu Ida Betara tedun (turun) secara niskala ke jaba pura, diiringi oleh para panjak atau pengiring spiritual. Dalam prosesi ini, dipersembahkan Segehan Agung sebagai simbol pengembalian energi suci ke alam semesta secara sekala. Segehan ini bukan sekadar persembahan, tetapi juga bentuk harmonisasi antara manusia dan alam, sebagai bagian dari prinsip Tri Hita Karana. Setelah prosesi Meblabaran selesai, Ida Betara kemudian kesineb atau kembali ke tempat berstana, menandai berakhirnya rangkaian upacara.</p>
15 Oct 2025